Beranjak dari obrolan di warung kopi — teramat banyak isu berseliweran di sana. Ekonomi, politik, sosial budaya, hingga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tak semua isu itu menjadi konsumsi media. Boleh jadi karena faktor nilai berita, atau mungkin juga lantaran ketidaktahuan. Isu itu pun akhirnya berlalu tanpa sentuhan.
Padahal, hampir semua isu punya daya tarik sendiri-sendiri. Kepiawaian meracik isu menjadi berita adalah sebuah keniscayaan. Bahwa ruang hidup ini, sesungguhnya adalah ladang informasi yang tak akan pernah ada habisnya.
Tercetuslah keinginan untuk menciptakan satu alat yang dapat digunakan sebagai pengantar pesan. Dalam dunia yang kian kompetitif, kecepatan mutlak diperhitungkan. Pilihannya adalah media siber.
Lahirlah Dindanews.com. Nama Dinda bisa dikaitkan dengan kisah seorang putri. Nama ini sangat populer karena ia mewakili sebuah karakter dalam novel yang diterbitkan tahun 1860 karya Multatuli: Max Havelaar. Novelnya bercerita tentang penganiayaan kolonial Belanda terhadap penduduk asli Indonesia.
Dalam novel yang kemudian diadaptasi ke dalam film berjudul Saijah dan Adinda itu, sosok Dinda dikenal sebagai pemberani yang tangkas mengambil keputusan cepat dan masuk akal, kendati dalam situasi sulit. Karakternya khas, selalu penasaran dan punya rasa ingin tahu yang tinggi.
Demikian pula dengan media siber ini, karakternya khas. Selalu mengedepankan rasa ingin tahu terhadap isu. Tentunya isu yang beririsan langsung dengan hal hidup orang banyak. Dari hasil racikan para “pengampu” kata-kata, publik dapat membaca keragaman sajian informasinya.